RIH PANJANG: PADANG PENGEMBALAAN KERBAU LIMANG TINGGAL KENANGAN
Limang
Limang adalah salah satu desa dari 18 desa yang ,masuk ke dalam administrasi Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo Sumatera Utara. Desa lain yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Tigabinanga adalah Simpang, Pergendangen/ Perlamben, Pergendangen, Lau Kapur, Kem Kem , Gunung, Tigabinanga (menjadi Ibukota Kecamatan), Kuta Galoh, Kuta Raya, Pertumbuken, Kuala, Kuta Buara, Simolap, Kuta Bangun, Sukajulu, Kutambaru Punti, Kuta Gerat, Bunga Baru, dan Perbesi (Sumber Sensus Ekonomi 2006).
Jarak Desa Limang dari kota Medan lebih kurang 3-4 jam perjalanan bila naik bus umum atau 2,5-3 jam perjalanan bila naik mobil pribadi.
Data BPS tahun 2003 jumlah keluarga di desa ini, sebanyak 254 kk, dan jumlah bangunan rumah 238 unit. Data BPS tahun 2003 ini juga mengungkapkan rumah tangga prasejahtera sebanyak 115 kk, nomor 3 terbesar setelah Kuta Bangun 124 kk dan Tigabinanga 154 kk untuk kecamatan Tigabinanga.
Hasil sensus ekonomi tahun 2006, sarana kesehatan di desa ini hanya ada 1 (satu) yaitu polindes. Bila masyarakat desa sakit, mereka dapat berobat ke Desa Perbesi sebab di Desa ini ada Puskesmas. Jaraknya 6 kilometer. Atau ke Ibukota Kecamatan Tigabinga jaraknya lebih kurang 10 km. Di ibukota kecamatan ini ada Rumah Sakit, Rumah Sakit Bersalin, ada Poliklinik, ada Puskesmas, ada Praktek Dokter, ada Praktek Bidan, ada Apotik dan sarana kesehatan lainnya (Sumber Sensus Ekonomi 2006).
Di desa ini hanya 1 SD Inpres (SDN NP.044863). Bila anak desa ini ingin melanjut ke SMP, dia dapat melanjut ke SLTPN 2 TIGA BINANGA yang terletak di Desa PERBESI (lebih kurang 8 km dari Limang), atau ke Ibukota kecamatan TIGA BINANGA atau ke Ibukota Kabupaten Kabanjahe. Bahkan ke Medan.
Hasil pertanian utama dari desa ini saat ini adalah Jagung.
Limang Dan Akhir Padang Pengembalaan Kerbaunya.
Asal Nama Limang
Kuta (Desa) Limang didirikan oleh marga Sembiring Brahmana sekitar tahun 1650-1700. Perhitungan ini didasarkan kepada generasi keempat dari Singian Sampalen yaitu Mangasi Sembiring Brahmana (1841 – 1923) dan Mbelting Sembiring Brahmana (1843 – 1924).
Menurut ceritanya, Limang berasal dari kata “lima” yang merujuk Marga Brahmana di desa Limang terdiri dari 5 bersaudara, yang dalam bahasa Karo diucapkan menjadi “lima ng”. Pengucapan ini kemudian berubah menjadi Limang kini berubah menjadi nama Kuta (Desa). Sebelumnya nama Kuta (Desa) ini adalah Kuta Male (Darwan Prinst. 1996).
Kelima bersaudara ini menurut Dawin Prints adalah para keturunan dari Singian Sampalen. Singian Sampalen inilah yang pendiri Kuta Limang.
Pertanyaan kemudian apakah ada hubungan kata Limang dalam bahasa Karo dengan kata Limang dalam bahasa Filipina, atau bahasa Jawa atau Bali, maupun nama jalan Limang Ube di Desa Telang Siong, Kecamatan Dusun Timur, Barito Timur, Propinsi Kalimantan Tengah, mungkin perlu penelitian tersendiri khususnya dari segi asal usul bahasa. Hal ini karena dengan mengambil contoh bahasa Bali, antara bahasa Karo dengan bahasa Bali ditemukan banyak persamaan makna kata. Padahal antara masyarakat Karo dan masyarakat Bali, secara gerografis saling berjauhan. Masyarakat Karo berlokasi di ujung Utara Indonesia (Propinsi Sumatera Utara) dan masyarakat Bali terletak di tengah Indonesia (Indonesia Bagian Timur).
Kedua masyarakat ini diantari dengan pulau Jawa. Kalau bahasa Karo, banyak persamaannya dengan bahasa Toba, atau bahasa Pakpak Dairi, bahasa Simalungun wajar-wajar saja sebab wilayahnya berdekatan, wilayahnya juga bertetangga dan berada dalam satu Propinsi. Hal yang berbeda dengan bahasa Bali. Maka hal yang sama bukan tidak mungkin juga terjadi dengan bahasa etnik yang lain.
Beberapa contoh bahasa Karo dan Bali yang sama atau mendekati maknanya adalah sebagai berikut:
Ini adalah beberapa contoh. Masih banyak yang lain. Maka berdasarkan adanya pengaruh ini, tampaknya perlu diteliti lebih lanjut apakah kata-kata bahasa Karo dan Bali yang sama penulisannya, sama atau mendekati maknanya berasal dari sumber yang sama pula.
Beberapa keturunan Pemilik Padang Pengembalaan Kerbau
Pemilik Padang Pengembalaan Kerbau adalah Mangasi Sembiring Brahmana (1841 – 1923) dan Mbelting Sembiring Brahmana (1843 – 1924), keduanya abang adik (Perdamen Brahmana).
Beberapa keturunan mereka yang “dikenal” antara lain:
Dari Anak Laki-Laki
Padang Pengembalaan Kerbau Rih Panjang dan Populasi Hewan Di Kabupaten Karo
Rih Panjang adalah nama tempat padang pengembalaan Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana yang berlokasi di Kampung Limang Kecamatan Tigabinanga. Luas arealnya lebih dari 300 hektar.
Memang belum ditemukan data berapa jumlah kerbau yang diternakkan di wilayah ini, namun jumlahnya dahulu diperkirakan cukup banyak. Kerbau-kerbau yang diternakkan di daerah ini sulit ditemukan angka pasti karena kerbau tersebut pada umumnya liar yang dalam bahasa Karo disebut kerbo jalang.
Para ahli waris Mendirikan PT. Mangabel
Untuk mempertahankan padang pengembalaan ini sebagai padang pengembalaan, para ahli waris, pernah mengelola dan melanjutkan usaha tersebut. Para ahli waris mendirikan sebuah PT. PT ini diberi nama PT. Mangabel, yang diambil dari nama Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana.
PT Mangabel ini didirikan berdasarkan Akte Notaris Malem Ukur Sembiring S.H pada tanggal 4-2-1977 di Medan dengan nomor pendirian No. 10. PT ini berkedudukan di Medan.
Dalam akte notaris di atas pendiri PT Mangabel ini adalah dr. Kamsyah Sembiring dengan persetujuan nama-nama yang tersebut di bawah ini:
Adapun maksud dan tujuan pendirian PT ini berdasarkan akte notaris tersebut adalah:
Upaya ini mengalami kegagalan. Penyebabnya antara lain karena ketidakjujuran para pengelola. Sehingga oleh pendiri pertama memusawarahkan PT ini lebih baik dibubarkan dan aset-asetnya dibagi berdasarkan kepemilikkan berdasarkan keturunan. Maka sejak tahun 1988 PT Mangabel ini pun dibubarkan.
Berdasarkan hasil musyawarah pada tanggal 16 dan 17 Juni 1988 di rumah Tandel Sembiring Brahmana di Limang, akhir dari Padang Pengembalaan kerbau Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring dibagi dua. Pihak keturunan Mangasi Sembiring Brahmana, mendapat bagian sebelah timur dari tanah peternakan ini, tanah ini berbatasan dengan perladangan masyarakat Kampung Perbesi yang dikenal dengan daerah Mondul, sedangkan Padang Pengembalaan di sebelah barat, menjadi milik keturunan Mbelting Sembiring Brahmana, tanah ini berbatasan dengan perladangan masyarakat Kutagerat. Batas tanah antara keturunan Mangasi Sembiring Brahmana dengan Mbelting Sembiring Brahmana didasarkan berdasarkan patok yang telah disepakati yang membujur dari arah utara ke selatan (Batu Sergantung) ke perladangan masyarakat Desa Kuala pada kecamatan yang sama.
Kini padang pengembalaan Rih Panjang, peninggalan Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana oleh para ahli warisnya telah dialih fungsikan menjadi lahan pertanian. Padang Pengembalaan ini, kini tinggal kenangan.
Penutup
Seandainya Kabupaten Karo jadi dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten/Kota, penyusutan lahan akan semakin cepat terjadi, karena lahan yang ada akan beralih fungsi, menjadi lahan perkantoran, perumahan atau pembangunan daerah wisata, perpabrikan dan sebagainya yang sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Peralihan fungsi lahan ini, pasti berimbas juga ke Padang Pengembalaan Kerbau Limang di Rih Panjang, ke lahan perladangan penduduk sekitar ibukota Kabupaten. Padahal tanah Padang Pengembalaan ini adalah bagian dari tanah adat masyarakat Limang. Lahan perladangan penduduk sekitar ibukota Kabupaten adalah sumber mata pencaharian utama mereka. Banyak diantaranya akan berspekulasi menjual tanahnya dengan berharap membeli di lokasi lain. Spekulasi ini hanya akan berhasil bagi mereka yang mempunyai jiwa ekonomi, bagi yang tidak, spekulasi seperti ini, dapat menurunkan tingkat kesejahteraan mereka, karena lahan mereka yang selama ini dianggap sebagai sumber matapencaharian bukan miliki mereka lagi. Kondisi seperti ini perlu kita cermati bersama, agar kualitas masyarakat Karo di Tanah Karo minimal dapat dipertahankan, kalau tidak dapat ditingkatkan.
Bila pengertian tanah adat adalah tanah milik yang diatur menurut hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (berdasarkan adat). Adat adalah aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, kebiasaan; cara yang sudah menjadi kebiasaan. Adat juga adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hokum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (KBBI, 1995). Maka sudah selayaknya lokasi ini tidak lagi dialih fungsikan atau dikonversikan kepada non pertanian.
Read More
Limang
Limang adalah salah satu desa dari 18 desa yang ,masuk ke dalam administrasi Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo Sumatera Utara. Desa lain yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Tigabinanga adalah Simpang, Pergendangen/ Perlamben, Pergendangen, Lau Kapur, Kem Kem , Gunung, Tigabinanga (menjadi Ibukota Kecamatan), Kuta Galoh, Kuta Raya, Pertumbuken, Kuala, Kuta Buara, Simolap, Kuta Bangun, Sukajulu, Kutambaru Punti, Kuta Gerat, Bunga Baru, dan Perbesi (Sumber Sensus Ekonomi 2006).
Jarak Desa Limang dari kota Medan lebih kurang 3-4 jam perjalanan bila naik bus umum atau 2,5-3 jam perjalanan bila naik mobil pribadi.
Data BPS tahun 2003 jumlah keluarga di desa ini, sebanyak 254 kk, dan jumlah bangunan rumah 238 unit. Data BPS tahun 2003 ini juga mengungkapkan rumah tangga prasejahtera sebanyak 115 kk, nomor 3 terbesar setelah Kuta Bangun 124 kk dan Tigabinanga 154 kk untuk kecamatan Tigabinanga.
Hasil sensus ekonomi tahun 2006, sarana kesehatan di desa ini hanya ada 1 (satu) yaitu polindes. Bila masyarakat desa sakit, mereka dapat berobat ke Desa Perbesi sebab di Desa ini ada Puskesmas. Jaraknya 6 kilometer. Atau ke Ibukota Kecamatan Tigabinga jaraknya lebih kurang 10 km. Di ibukota kecamatan ini ada Rumah Sakit, Rumah Sakit Bersalin, ada Poliklinik, ada Puskesmas, ada Praktek Dokter, ada Praktek Bidan, ada Apotik dan sarana kesehatan lainnya (Sumber Sensus Ekonomi 2006).
Di desa ini hanya 1 SD Inpres (SDN NP.044863). Bila anak desa ini ingin melanjut ke SMP, dia dapat melanjut ke SLTPN 2 TIGA BINANGA yang terletak di Desa PERBESI (lebih kurang 8 km dari Limang), atau ke Ibukota kecamatan TIGA BINANGA atau ke Ibukota Kabupaten Kabanjahe. Bahkan ke Medan.
Hasil pertanian utama dari desa ini saat ini adalah Jagung.
Limang Dan Akhir Padang Pengembalaan Kerbaunya.
Asal Nama Limang
Kuta (Desa) Limang didirikan oleh marga Sembiring Brahmana sekitar tahun 1650-1700. Perhitungan ini didasarkan kepada generasi keempat dari Singian Sampalen yaitu Mangasi Sembiring Brahmana (1841 – 1923) dan Mbelting Sembiring Brahmana (1843 – 1924).
Menurut ceritanya, Limang berasal dari kata “lima” yang merujuk Marga Brahmana di desa Limang terdiri dari 5 bersaudara, yang dalam bahasa Karo diucapkan menjadi “lima ng”. Pengucapan ini kemudian berubah menjadi Limang kini berubah menjadi nama Kuta (Desa). Sebelumnya nama Kuta (Desa) ini adalah Kuta Male (Darwan Prinst. 1996).
Kelima bersaudara ini menurut Dawin Prints adalah para keturunan dari Singian Sampalen. Singian Sampalen inilah yang pendiri Kuta Limang.
Pertanyaan kemudian apakah ada hubungan kata Limang dalam bahasa Karo dengan kata Limang dalam bahasa Filipina, atau bahasa Jawa atau Bali, maupun nama jalan Limang Ube di Desa Telang Siong, Kecamatan Dusun Timur, Barito Timur, Propinsi Kalimantan Tengah, mungkin perlu penelitian tersendiri khususnya dari segi asal usul bahasa. Hal ini karena dengan mengambil contoh bahasa Bali, antara bahasa Karo dengan bahasa Bali ditemukan banyak persamaan makna kata. Padahal antara masyarakat Karo dan masyarakat Bali, secara gerografis saling berjauhan. Masyarakat Karo berlokasi di ujung Utara Indonesia (Propinsi Sumatera Utara) dan masyarakat Bali terletak di tengah Indonesia (Indonesia Bagian Timur).
Kedua masyarakat ini diantari dengan pulau Jawa. Kalau bahasa Karo, banyak persamaannya dengan bahasa Toba, atau bahasa Pakpak Dairi, bahasa Simalungun wajar-wajar saja sebab wilayahnya berdekatan, wilayahnya juga bertetangga dan berada dalam satu Propinsi. Hal yang berbeda dengan bahasa Bali. Maka hal yang sama bukan tidak mungkin juga terjadi dengan bahasa etnik yang lain.
Beberapa contoh bahasa Karo dan Bali yang sama atau mendekati maknanya adalah sebagai berikut:
Bahasa Karo dan Bali | Artinya(Dalam bahasa Indonesia) |
---|---|
bangke | Bangkai |
bapa | ayah (istilah Bapa pada masy. Bali hanya digunakan golongan tertentu) |
bedil | Senjata |
belat | sekat |
dakep | peluk (karo), tangkap (bali) |
daksina | selatan |
dingding | dinding |
dukut | rumput |
getep/getap | potong |
gim | akhir dari permainan |
inem | minum |
inget | ingat |
jelma | orang |
jemak | pegang (Karo), ambil (Bali) |
jukjuk | menjolok |
kacip | jepit |
lateng | jelatang |
matah | mentah |
mulih | pulang |
tasak | masak |
telu | tiga |
Data Ini Penulis Inventarisasi Pada Tahun 1996-1998 |
Ini adalah beberapa contoh. Masih banyak yang lain. Maka berdasarkan adanya pengaruh ini, tampaknya perlu diteliti lebih lanjut apakah kata-kata bahasa Karo dan Bali yang sama penulisannya, sama atau mendekati maknanya berasal dari sumber yang sama pula.
Beberapa keturunan Pemilik Padang Pengembalaan Kerbau
Pemilik Padang Pengembalaan Kerbau adalah Mangasi Sembiring Brahmana (1841 – 1923) dan Mbelting Sembiring Brahmana (1843 – 1924), keduanya abang adik (Perdamen Brahmana).
Beberapa keturunan mereka yang “dikenal” antara lain:
Dari Anak Laki-Laki
- Rakutta Sembiring Brahmana (1914 – 1964). Almarhum Rakutta ini pernah menjadi Kepala Pertabiran Militer Karo yang berkedudukan di Tiganderket (SK Nomor. 62/Ist/D1, 4 April 1949). Terbentuknya Negara Kesatuan RI, pada tanggal 17 Agustus 1950 diangkat menjadi Bupati Kdh Tkt II Karo, berkedudukan di Kabanjahe. Sebelumnya, 27 Maret 1947, pernah dilantik menjadi anggota DPR Kab. Asahan mewakili Tanjung Balai yang pada waktu itu ketuanya dijabat oleh Saidi Mulia dan Wakilnya Syech H. Ismail. Selanjutnya dia diangkat menjadi Bupati KDH Tkt II Asahan, berkedudukan di Tanjung Balai. Kemudian hingga akhir hayatnya dia menjabat Walikota Kdh Tkt II Pematang Siantar. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.
Di Asahan dan Pematang Siantar, Pemerintah Kota ini telah menabalkan namanya menjadi nama jalan di Pematang Siantar dan Asahan dengan nama Jalan Rakutta Sembiring. - Bangsi Sembiring Brahmana, almarhum, meninggal dunia di tembak Belanda pada tahun 1947. Untuk menghormati jasanya Pemda Kabupaten Karo mentabalkan namanya menjadi nama jalan di Kota Kabanjahe. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.
- Ngaloken Sembiring Brahmana Almarhum, Penasehat Bidang Seni Budaya Adat Karo Semasa Bupati Karo Dijabat Drs. Rukun Sembiring. No: SK. NO. 70/1982.
- LS Man (Layas Sembiring Brahmana) (1928-2003), almarhum. Penggerak dan Pembina kebudayaan Karo melalui media cetak dengan menerbitkan Majalah Terlong bersama teman-temannya (1955-1965). Pemimpin Redaksi Majalah Tenah (1982-1999) dan Sukut (2001). Dimakamkan di pemakaman keluarga di Kuta Limang.
- dr. Kamsyah Sembiring Brahmana. Pensiunan dari Rumah Sakit Pertamina Jakarta dan saat ini, menjadi Pendeta di Medan.
- H. Imat S. Brahmana, pernah menjabat sebagai Ka KUA Departemen Agama Kabupaten Karo
- Kueteh Sembiring Brahmana, Almarhum, Mantan Kepada PU Kabupaten Karo Semasa Bupati Tampak Sebayang
- Drs Jumpa Sembiring Brahmana, pernah menjabat Direktur APDN Lampung pada tahun 1980-an.
- Drs. Riah R. Sembiring Brahmana, almarhum. Pernah menjabat beberapa Kepala atau Wakil Kepala cabang Bank Bumi Daya di Jakarta dan Tebing Tinggi Sumatera Utara pada era Orde Baru. Dimakamkan di Jakarta.
- Berkat Kacaribu. Pemilik PO Karona Grup. Berlokasi di Bandar Lampung. Ibunya beru Sembiring Brahmana, keturunan Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana.
- Darwan Prinst Almarhum, Penulis Buku Karo Dan Ilmu Hukum
- Darwin Prinst Almarhum, Penulis Kamus Bahasa Karo Dan Buku Ilmu Hukum
Padang Pengembalaan Kerbau Rih Panjang dan Populasi Hewan Di Kabupaten Karo
Rih Panjang adalah nama tempat padang pengembalaan Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana yang berlokasi di Kampung Limang Kecamatan Tigabinanga. Luas arealnya lebih dari 300 hektar.
Memang belum ditemukan data berapa jumlah kerbau yang diternakkan di wilayah ini, namun jumlahnya dahulu diperkirakan cukup banyak. Kerbau-kerbau yang diternakkan di daerah ini sulit ditemukan angka pasti karena kerbau tersebut pada umumnya liar yang dalam bahasa Karo disebut kerbo jalang.
Para ahli waris Mendirikan PT. Mangabel
Untuk mempertahankan padang pengembalaan ini sebagai padang pengembalaan, para ahli waris, pernah mengelola dan melanjutkan usaha tersebut. Para ahli waris mendirikan sebuah PT. PT ini diberi nama PT. Mangabel, yang diambil dari nama Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana.
PT Mangabel ini didirikan berdasarkan Akte Notaris Malem Ukur Sembiring S.H pada tanggal 4-2-1977 di Medan dengan nomor pendirian No. 10. PT ini berkedudukan di Medan.
Dalam akte notaris di atas pendiri PT Mangabel ini adalah dr. Kamsyah Sembiring dengan persetujuan nama-nama yang tersebut di bawah ini:
- Layas Sembiring Brahmana (LS Man)
- Imat Sembiring Brahmana
- Kitatena Sembiring Brahmana
- Rajin Sembiring Brahmana
- Ny. Malem Sembiring Brahmana, mewakili anak kandungnya Drs. Djumpa Sembiring di Tanjung Karang Lampung dan Drs Riah Sembiring Brahmana di Jakarta.
- Ny. Rakutta Sembiring Brahmana, mewakili anak kandungnya, Brahma Sembiring Brahmana di Sentang, Netapken Sembiring Brahmana di Kisaran, dan Muhammad Hijrah Sembiring Brahmana di Jakarta
- Radjabayak Sembiring Brahmana
- Kueteh Sembiring Brahmana
- Lem Sembiring Brahmana
- Gun-Gun Sembiring Brahmana
- Tanak Sembiring Brahmana
- Sura Sembiring Brahmana
- Dat Sembiring Brahmana
- Sakti Sembiring Brahmana
- Tandel Sembiring Brahmana
- Panjang Sembiring Brahmana
- Perdamen Sembiring Brahmana
Adapun maksud dan tujuan pendirian PT ini berdasarkan akte notaris tersebut adalah:
- Menjalankan usaha peternakan dan pertanian.
- Menjalankan usaha perdagangan segala macam ternak dan alat-alat serta kebutuhan peternakan dan pertanian, segala sesuatu dalam arti kata seluas-luasnya.
Upaya ini mengalami kegagalan. Penyebabnya antara lain karena ketidakjujuran para pengelola. Sehingga oleh pendiri pertama memusawarahkan PT ini lebih baik dibubarkan dan aset-asetnya dibagi berdasarkan kepemilikkan berdasarkan keturunan. Maka sejak tahun 1988 PT Mangabel ini pun dibubarkan.
Berdasarkan hasil musyawarah pada tanggal 16 dan 17 Juni 1988 di rumah Tandel Sembiring Brahmana di Limang, akhir dari Padang Pengembalaan kerbau Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring dibagi dua. Pihak keturunan Mangasi Sembiring Brahmana, mendapat bagian sebelah timur dari tanah peternakan ini, tanah ini berbatasan dengan perladangan masyarakat Kampung Perbesi yang dikenal dengan daerah Mondul, sedangkan Padang Pengembalaan di sebelah barat, menjadi milik keturunan Mbelting Sembiring Brahmana, tanah ini berbatasan dengan perladangan masyarakat Kutagerat. Batas tanah antara keturunan Mangasi Sembiring Brahmana dengan Mbelting Sembiring Brahmana didasarkan berdasarkan patok yang telah disepakati yang membujur dari arah utara ke selatan (Batu Sergantung) ke perladangan masyarakat Desa Kuala pada kecamatan yang sama.
Kini padang pengembalaan Rih Panjang, peninggalan Mangasi Sembiring Brahmana dan Mbelting Sembiring Brahmana oleh para ahli warisnya telah dialih fungsikan menjadi lahan pertanian. Padang Pengembalaan ini, kini tinggal kenangan.
Penutup
Seandainya Kabupaten Karo jadi dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten/Kota, penyusutan lahan akan semakin cepat terjadi, karena lahan yang ada akan beralih fungsi, menjadi lahan perkantoran, perumahan atau pembangunan daerah wisata, perpabrikan dan sebagainya yang sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Peralihan fungsi lahan ini, pasti berimbas juga ke Padang Pengembalaan Kerbau Limang di Rih Panjang, ke lahan perladangan penduduk sekitar ibukota Kabupaten. Padahal tanah Padang Pengembalaan ini adalah bagian dari tanah adat masyarakat Limang. Lahan perladangan penduduk sekitar ibukota Kabupaten adalah sumber mata pencaharian utama mereka. Banyak diantaranya akan berspekulasi menjual tanahnya dengan berharap membeli di lokasi lain. Spekulasi ini hanya akan berhasil bagi mereka yang mempunyai jiwa ekonomi, bagi yang tidak, spekulasi seperti ini, dapat menurunkan tingkat kesejahteraan mereka, karena lahan mereka yang selama ini dianggap sebagai sumber matapencaharian bukan miliki mereka lagi. Kondisi seperti ini perlu kita cermati bersama, agar kualitas masyarakat Karo di Tanah Karo minimal dapat dipertahankan, kalau tidak dapat ditingkatkan.
Bila pengertian tanah adat adalah tanah milik yang diatur menurut hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (berdasarkan adat). Adat adalah aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, kebiasaan; cara yang sudah menjadi kebiasaan. Adat juga adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hokum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (KBBI, 1995). Maka sudah selayaknya lokasi ini tidak lagi dialih fungsikan atau dikonversikan kepada non pertanian.